Enter your keyword

Kamis, 06 Juli 2017

Bawang Putih Dulu Primadona Desa Kami

Bawang Putih Dulu Primadona Desa Kami
Abdul Jafar Setiawan (Petani Bawang Putih di Tegal, Jateng)

Era kejayaan bawang putih di Indonesia meredup seiring masuknya bawang putih dari luar negeri. Saat itu, pada 1980–1995, bawang putih sempat menjadi komoditas primadona di Desa Tuwel, Kec. Bojong, Kab. Tegal, Jateng.

Perkembangannya sangat luar biasa. Sampai-sampai dalam setahun petani membudidayakan sebanyak tiga kali. Luasan lahan produksinya mencapai 1.000 ha setiap tahun. Sebelumnya, petani hanya sekali menanam dalam setahun dengan luasan lahan sekitar 300 ha.]

Bahkan, petani melaksanakan kegiatan sosial keagamaan dengan dana dari hasil penjualan bawang putih, yaitu arisan haji. Arisan ini dilakukan kelompok tani dengan cara menyetor sebanyak 100 kg bawang putih setiap panen. Hasil penjualan tersebut digunakan untuk memberangkatkan dua petani pergi haji. Tak hanya itu, mesjid di Desa Tuwel juga dibangun dari hasil swadaya murni petani bawang putih dengan anggaran mencapai Rp1,5 miliar.

Sekarang petani kurang tertarik menanam bawang putih lagi. Kalaupun ada, hanya beberapa petani. Lahan tanamnya pun berangsur menciut dari 300 ha menjadi hanya 60 ha. Ditambah lagi, saat musim hujan luas areal produksinya pun semakin berkurang.

Jika dulu petani demikian bersemangat sampai tiga kali menanam dalam setahun, sekarang sekali setahun. Bergantian dengan tanaman hortikultura lainya seperti tomat dan wortel. Rata-rata petani bisa menghasilkan 8,5 ton bawang putih setiap hektar. Jika musim hujan tiba, produksi ikut menurun hingga 50%.

Ketidaktertarikan petani juga disebabkan harga bawang putih yang biasanya mencapai Rp17 ribu/kg akan turun drastis di bawah biaya produksi Rp10 ribu/kg saat masuk bawang putih impor masuk.
Bawang putih dari Desa Tuwel tidak mampu bersaing dengan bawang putih impor dari India dan China yang harganya  jauh lebih murah.  Apalagi, bawang putih impor begitu gencar memasuki pasar Indonesia. Yang lebih mengherankan, masuknya bawang putih impor justru saat panen raya berlangsung.  Tentu ini berbeda dengan era Presiden Soeharto yang mampu mengendalikan masuknya bawang impor.

Sebenarnya petani tidak meminta apa-apa dari pemerintah. Cukup harga saja yang lebih stabil dan tidak merugikan petani. Juga agar pemerintah tidak memasukkan bawang putih impor saat panen raya. Dalam pengembangan bawang putih pun selayaknya pemerintah bisa memberikan bantuan sarana untuk masa pratanam seperti traktor tangan, masa pascapanen seperti gudang, pengemasan, serta benih yang bermutu kepada petani. Bantuan pemerintah kepada petani bawang putih persentasenya hanya 30%, selebihnya adalah swadaya petani.

Sumber: Majalah Agrina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel